Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil
ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 18:3).
Ini akan menjadi khotbah biografi. Saya akan
menyampaikan kisah pertobatan Adoniram Judson (1788-1850) kepada Anda.
Pertobatannya harus menjadi hal yang sangat menarik bagi anak-anak muda
yang tumbuh di gereja. Ia adalah gambaran sempurna tentang “anak-anak
gereja” yang dipertobatkan setelah perjuangan yang lama.
Adoniram
Judson pergi menjadi misionaris pertama, salah satu rombongan pertama
dari para misionaris yang diutus keluar dari Amerika Utara. Pada 19
Pebruari 1812 Adoniram dan Ann Judson berlayar dari Cape Cod,
Massachusetts menuju India. Dari sana mereka membawa Injil ke Burma
(sekarang Myanmar). Keluarga Judson ini melewati penderitaan pahit,
dipenjara, dan keluarganya mengalami banyak tragedi sebagai misionaris
pertama di negeri penyembah berhala di mana belum pernah ada misionaris
datang ke tempat itu sebelumnya. Namun Judson tidak pernah bimbang
akan komitmennya untuk memenangkan para penyembah berhala ini bagi
Kristus, dan menerjemahkan Alkitab untuk pertama kalinya ke dalam
bahasa Burma. Bagaimana Adoniram Judson menjadi seorang Kristen yang
kuat seperti itu? Ketika membaca kisah hidupnya, saya menjadi
diyakinkan bahwa dasar iman Kristennya terletak pada pertobatan sejati
yang ia pernah alami ketika ia masih muda, sebelum ia pergi ke ladang
misi. Dalam khotbah ini saya mendasarkan pada Courtney Anderson yang
berjudul, To the Golden Shore: The Life of Adoniram Judson (Judson Press, 1987 edition).
Namanya
adalah Adoniram Judson, Jr. Ayahnya, Adoniram Judson, Sr. adalah
pendeta Kongregasional kolot. Orang yang paling ditakuti oleh Adoniram
Judson muda adalah ayahnya. Nampaknya kekaguman dan hormat yang
menyebabkan putranya takut kepadanya. Ia hampir tidak mampu bercanda
dan tertawa. Ia seorang yang keras dan tegas seperti Tuhan sendiri.
Pada kenyataannya, dalam pikiran muda Adoniram, Allah dan ayahnya
hampir identik sama.
Adoniram belajar
membaca pada waktu umur tiga tahun. Ini membuat ayahnya merasa bahwa
anak laki-lakinya akan menjadi seorang besar, dan ayahnya mengatakan
itu kepadanya lagi dan lagi. Ayahnya hanyalah seorang pendeta miskin,
namun ia ingin anaknya akan menjadi jauh lebih besar dari pada dirinya –
menjadi seorang pendeta di sebuah gereja besar di New England. Ia
berharap agar putranya akan mencapai kesuksesan dan ketenaran yang ia
tidak pernah bayangkan.
Pada masa
kanak-kanaknya Adoniram membaca segala yang ia dapatkan di tangannya,
dari buku-buku di perpustakaan ayahnya sampai novel-novel dan drama
yang populer pada saat itu. Namun ia sangat aktif dan energik. Sebelum
ia berumur sepuluh tahun ia telah menjadi seorang ahli matematika yang
pandai, dan telah belajar dasar-dasar bahasa Yunani dan Latin. Ayahnya
mengatakan kepadanya, “Kamu adalah anak yang sangat [cerdas], Adoniram,
dan saya mengharapkan kelak kamu menjadi orang besar.” Kata-kata itu
membuat kesan mendalam baginya. “Saya mengharapkan kelak kamu menjadi
orang besar.”
Pada saat itu jemaat yang
digembalakan oleh ayahnya mengalami perpecahan gereja yang sangat
mengerikan. Akhirnya keluarga itu harus pindah ke kota lain di mana
ayahnya menjadi pendeta di sebuah gereja kecil yang lain. Namun
Adoniram memiliki respek yang besar kepada teladan ayahnya: yang tidak
pernah kompromi.
Adoniram merasakan bahwa
takdirnya adalah menjadi seorang ahli pidato, seorang penyair, atau
seorang negarawan seperti John Adams – sesuatu yang dihubungkan dengan
buku-buku dan pembelajaran, sesuatu yang akan membuat dia dipuji dan
tenar, dan membuat namanya dikenal sepanjang masa.
Ia
selalu ingin menjadi orang yang benar-benar saleh. Namun bagaimana ia
dapat menjadi seorang Kristen sejati dan menjadi orang besar pada saat
yang sama? Ketika ia terbaring sakit, ia seperti mendengar suara yang
berkata di dalam pikirannya, “Bukan bagi kita, bukan bagi kita, namun
bagi nama-Nyalah kemuliaan itu.” Itu mungkin saja menjadi seorang
pendeta pedesaan yang tidak dikenal yang ketenarannya berkumandang
sampai kepada kekekalan, bahkan walaupun ia tidak mendengarkan di sini.
Dunia salah tentang para pahlawannya. Dunia salah dalam penilaiannya.
Ketenaran dari seorang pendeta pedesaan yang tidak dikenal sesungguhnya
lebih luar biasa – begitu banyak yang lebih besar sehingga pencapaian
duniawi lainnya menjadi menyusut menjadi hal yang tidak penting. Ini
adalah satu-satunya ketenaran yang menang atas kubur. “Bukan bagi kita,
bukan bagi kita, namun bagi nama-Nyalah kemuliaan itu” terus
berdengung di telinganya. Ia duduk dalam posisi tegak di ranjang
sakitnya, dikejutkan oleh pikiran-pikiran aneh ini.
Bagaimanapun,
ia segera berusaha mengusirnya dari pikirannya. Namun untuk waktu yang
singkat ingatan itu begitu kuat sehingga ia akan mengingatnya sampai
akhir hidupnya.
Sebelum pada usia enam
belas tahun Adoniram telah masuk perguruan tinggi. Meskipun ayah
Adoniram adalah tamatan Yale, namun ia tidak mengirim putranya ke sana,
mungkin karena terlalu jauh dari rumahnya. Walaupun Harvard hanyalah
lima puluh mil jauhnya, ia tidak mengirim putranya ke sana karena
sekolah itu telah menjadi liberal. Sebaliknya Pdt. Judson mengirim
putranya ke Rhode Island College di Providence. Tidak lama setelah
Adoniram masuk, perguruan tinggi itu berubah nama menjadi “Brown
University.” Pdt. Judson tahu bahwa sekolah itu adalah sekolah yang
mengajarkan kebenaran, mengajarkan Alkitab. Pdt. Judson merasa bahwa
Adoniram akan aman di perguruan tinggi ini.
Karena
Adoniram telah mengenal bahasa Latin, Yunani, matematika, astronomi,
logika, pidato dan filsafat moral ia masuk sekolah seperti sebagai
mahasiswa tahun kedua dari pada mahasiswa tahun pertama. Para
profesornya segera menyadari itu. Di akhir kuliah tahun pertama rektor
perguruan tinggi tersebut mengirim surat kepada ayahnya, menyebut
Adoniram “putra yang sangat baik dan menjanjikan.” Hati Pdt. Judson
begitu bangga ketika membaca surat itu.
Para
mahasiswa di perguruan tinggi tersebut segera menyadari bahwa,
walaupun ia adalah seorang anak pendeta, Adoniram telah memiliki
ketertarikan yang sangat kecil dalam menghadiri kebaktian doa yang
diadakan dua kali seminggu. Sebaliknya ia menjadi sangat popular dengan
anak-anak muda yang belum bertobat di sekolah itu.
Adoniram
segera berteman dengan seseorang yang bernama Jacob Eames, yang
berusia satu tahun lebih tua darinya. Eames sangat berbakat, pintar dan
sangat populer – namun ia adalah seorang Deist (orang yang percaya
bahwa dengan pengetahuan, akal dan pikiran, seseorang dapat menentukan
Tuhan itu nyata), bukan seorang Kristen. Ia dan Adoniram menjadi
sahabat dekat, dan Adoniram sangat dipengaruhi oleh dia sehingga ia
segera menjadi seperti orang yang tidak percaya Tuhan seperti Jacob
Eames. Jika ayah Adoniram mengetahui bahwa ia telah menjadi Deist, ia
pasti segera akan membawa dia keluar dari universitas tersebut. Pdt.
Judson menentang liberalism, Uniatarianisme, dan Universalisme, namun
ia merasa bahwa Deisme adalah yang terburuk dari semua itu. Kaum Deist
menolak Alkitab sepenuhnya. Kaum Deist hanya percaya bahwa ada Allah
yang tidak terlibat dengan umat manusia sama sekali. Mereka menolak
Kristus sebagai Anak Allah, tidak percaya tentang Sorga atau Neraka,
atau Darah penebusan Kristus. Namun Pdt. Judson tidak tahu bahwa
sahabat Adoniram, Jacob Eames telah memimpin putranya ke dalam
kesesatan dan ketidakpercayaan seperti itu.
Jacob
Eames adalah pemimpin kelompok anak-anak muda dimana Adoniram
bergabung. Pemuda-pemuda ini belajar bersama, menghadiri peseta
bersama, ngobrol bersama, dan bermain bersama. Orang-orang muda ini
tidak tertarik pada Kekristenan. Mereka berbicara tentang bagaimana
menjadi para penulis tersohor, dramawan, dan para aktor.Mereka mau
menjadi para pengikut Shakespeare dan Godsmiths dari Dunia Baru di
Amerika. Seluruh agama yang ayah Adoniram ajarkan dengan begitu
hati-hati kepada putranya lenyap sepenuhnya. Jacob Eames telah
“membebaskan” Adoniram dari kepercayaan lama ayahnya, dan telah
membebaskan dia untuk mencari ketenaran dan kekayaan.
Namun
Adoniram memiliki perasaan bersalah yang membuat dia gelisah. Menolak
Allah ayahnya adalah sama dengan menolak ayahnya, yang masih ia sangat
hormati di dalam hatinya. Ia sungguih takut akan penolakan ayahnya,
sehingga ia tidak pernah menyampaikan ketidakpercayaannya ketika ia
pulang liburan semester.
Adoniram menjadi
juara satu di kelasnya. Ia dipilih menjadi wakil wisudawan, dan
menyampaikan pidatonya di acara wisudanya. Segera setelah ia tahu bahwa
ia telah memenangkan kehormatan ini ia lari ke kamarnya dan menulis,
“Ayah yang tersayang, saya telah memperolehnya. Putra kesayanganmu,
A.J.” Di akhir wisuda itu, pada posisi yang paling terhormat. Adoniram
memberikan pidatonya, dengan menyampaikan betapa ia sangat bangga
kepada ayah dan ibunya di hadapan para hadirin.
Jadi,
di usia sembilan belas tahun, Adoniram telah memulai pekerjaan
hidupnya. Namun ia tidak memiliki ide untuk menjadi apa! Ia pulang ke
rumahnya dan pergi ke gereja bersama dengan ayah dan ibunya setiap
Minggu. Kedua orangtuanya tidak tahu bahwa ia sekarang telah menjadi
orang tidak percaya. Ia merasa seperti seorang munafik setiap kali ia
bersama ayah dan ibunya dalam doa bersama keluarganya.
Setiap
minggu ia semakin resah. Ia menyimpan pikiran tentang ambisi-ambisi
yang ia telah ia bicarakan dengan Jacob Eames. Pada musim panas itu ia
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pergi ke New York. Ia
akan menjumpai orang-orang yang bekerja dengan theater. Ia akan belajar
menulis drama sebagai langkah awalnya. Ia tahu bahwa ayah dan ibunya
telah berpikir bahwa New York adalah kota yang paling penuh dosa di
Amerika, sebuah Sodom modern. Ia tahu bahwa mereka berpikir theater
adalah lubang neraka dari kebobrokan dan dosa. Namun ia berpikir bahwa
orangtuanya terlalu berpikiran sempit.
Segera
ia mempersiapkan diri untuk pergi ke New York. Kedua orangtuanya
bereaksi seperti seakan ia sedang pamit kepada mereka bahwa ia akan
melakukan perjalanan ke bulan! Mereka tidak menyadari bahwa ia telah
bertujuan untuk bebas dari aturan mereka, bertindak dan berpikir untuk
dirinya sendiri sebagai seorang dewasa. Pada titik ini ayahnya meminta
dia untuk belajar menjadi seorang pendeta. Ketika Adoniram mendengar
itu, ia berusaha mengatakan suatu kebenaran kepada orangtuanya. Bahwa
Allah mereka bukan Allahnya. Bahwa ia tidak percaya lagi Alkitab. Bahwa
ia tidak percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah.
Ayahnya
mencoba untuk berargumentasi dengannya, namun gagal. Ibunya menangis
dan meratap sambil ia mengikuti dia dari kamar ke kamar. “Bagaimana
kamu dapat melakukan ini kepada ibumu?” ia berteriak. Adoniram yang
sangat disayanginya telah memilih Iblis dan menolak Allah. Ia dapat
mendengar tangisan dan doa ibunya untuk dia kapanpun ia pulang ke
rumah.
Adoniram menerima itu tanpa
mengeluh selama enam hari. Kemudian ia mengambil kudanya dan
menungganginya menuju New York. Namun ketika ia sampai di sana ia
menemukan bahwa kota itu bukan sorga seperti yang ia mimpikan. Tidak
ada yang menyambutnya dan tidak ada pekerjaan. Ia hanya tinggal
beberapa minggu sebelum pergi dalam penolakan dan sakit hatinya.
Ketika
matahari mulai tenggelam ia sampai di sebuah desa kecil. Ia menemukan
sebuah penginapan, mengikat kudanya di kandang, dan memesan kamar
kepada pemilik penginapan. Penginapan itu hampir penuh. Hanya ada satu
kamar yang tersisa. Seorang tuan tanah itu menjelaskan kepadanya bahwa
kamar di sebelahnya ada anak muda yang sakit keras, mungkin sedang
sekarat. Ia pasti akan terganggu malam itu. “Tidak,” kata Adoniram, ia
tidak akan membiarkan sedikit keributan di sebelah kamarnya
menghentikan dia untuk menikmati istirahat yang tenang malam itu.
Setelah memberi dia sesuatu untuk dimakan, sang tuan tanah itu membawa
Adoniram ke kamarnya dan meninggalkan dia di sana. Adoniram pergi
tidur, dan berharap bisa tidur.
Namun ia
tidak dapat tidur. Ia dapat mendengar suara pelan yang berasal dari
kamar di depannya, kadang kedengaran dan kadang tidak, seperti ada
suara papan yang berkeretak, suara-suara pelan, namun kadang raungan
dan hembusan nafas. Suara-suara ini tidak terlalu mengganggunya – tidak
mengganggu karena ia berpikir orang itu mungkin sekarat. Kematian
adalah hal yang umum bagi New England-nya Adoniram. Itu memang harus
terjadi kepada setiap orang, berapapun umurnya.
Apa
yang mengganggunya adalah pikiran bahwa orang itu ada di dalam kamar
di samping kamarnya yang tidak siap untuk mati. Apakah ia, dirinya
sendiri, siap untuk itu? Pikiran-pikiran ini melewati pikirannya ketika
ia berbaring setengah mimpi dan setengah sadar di sana. Ia ingin tahu
bagaimana ia sendiri akan menghadapi kematian. Ayahnya akan menganggap
kematian seperti pintu terbuka menuju kemuliaan kekal. Namun bagi
Adoniram, pemuda tidak percaya Tuhan ini, kematian adalah pintu menuju
jurang kehampaan, menuju kegelapan, kebinasaan, lebih buruk lagi – apa?
Tubuhnya akan hancur seperti ketika ia berpikir tentang kubur,
tubuhnya yang mati membusuk, ditimbun di dalam tanah dalam peti mati.
Apakah semua ini, melalui abad-abad tiada akhir?
Namun
bagian lain dari dia mentertawakan pikiran-pikiran tengah malam ini.
Apa yang akan teman-temanya di perguruan tinggi pikirkan tentang
teror-teror malam itu? Di atas semua, apa yang akan sahabat baiknya
Jacob Eames pikirkan? Ia membayangkan Eames mentertawakan dia, dan ia
merasa malu.
Ketika ia bangun matahari
sudah terbit menerobos jendelanya. Ketakutannya telah sirna bersama
dengan kegelapan itu. Ia dapat sulit mempercayai mengapa ia menjadi
begitu lemah dan takut pada malam itu. Ia berpakaian dan turun untuk
sarapan. Ia menemui pemilik penginapan dan membayar tagihannya.
Kemudian ia bertanya apakah anak muda di sebelah kamarnya itu sudah
lebih baik. Orang itu menjawab, “Ia telah meninggal dunia.” Kemudian
Adoniram bertanya, “Apakah Anda tahu siapakah dia itu?” Pemilik
penginapan itu menjawab, “Oh. Iya. Ia adalah anak muda dari Brown
University, namanya adalah Eames, Jacob Eames.” Itu berarti sahabat
baiknya, Jacob Eames yang tidak percaya Tuhan, yang telah mati di
sebelah kamarnya malam itu.
Adoniram
tidak pernah dapat mengingat bagaimana ia melalui beberapa jam
berikutnya. Semua yang ia ingat adalah bahwa ia tidak meninggalkan
penginapan itu untuk beberapa jam. Akhirnya ia pergi, menunggang
kudanya dalam kebingungan. Satu kata terus merasuki pikirannya –
“terhilang!” Dalam kematian, sahabatnya Jacob Eames masih terhilang –
sepenuhnya terhilang. Terhilang dalam kematian. Kehilangan
sahabat-sahabatnya, kehilangan dunia, kehilangan masa depan. Jika
pandangan-pandangan Eames sendiri benar, bukankah kehidupan dan
kematiannya tidak memiliki arti.
Namun
bagaimana jika Eames salah? Bagaimana jika Alkitab secara literal benar
dan pribadi Allah itu nyata? Kemudian Jacob Eames terhilang untuk
selama-lamanya. Dan setelah itu, pada saat itu, Eames tahu bahwa ia
salah. Namun sekarang sudah sangat terlambat bagi Eames bertobat.
Ketika mengetahui kesalahannya, Eames telah terlanjur mengalami siksaan
api neraka yang tak terlukiskan. Semua kesempatan untuk diselamatkan
telah hilang, terhilang untuk selama-lamanya. Pikiran-pikiran ini
mengguncangkan pikiran Adoniram. Adoniram berpikir bahwa sahabat
baiknya mati di sebelah kamarnya tidak mungkin suatu kebetulan belaka.
Adoniram berpikir bahwa Allah ayahnya telah merancang
peristiwa-peristiwa ini melalui ketetapan, itu sama sekali bukanlah
suatu kebetulan.
Tiba-tiba Adoniram
merasa bahwa Allah dari Alkitab adalah Allah yang riil. Ia memutar
kudanya dan menuju rumahnya. Perjalanan menuju rumahnya memerlukan
waktu lima minggu, namun selama lima minggu itu apa yang ia telah mulai
untuk membebaskan diri dari kendali orangtuanya telah berbalik
menguncang jiwanya dengan begitu hebatnya. Selanjutnya hatinya begitu
kacau, dalam ketakutan akan kematian jiwanya. Ia pulang ke rumahnya
sebagai orang berdosa yang telah dibangunkan.
Pada
saat itu dua pendeta datang ke rumah ayahnya. Mereka mengusulkan agar
Adoniram mendaftarkan diri ke seminari yang baru saja dibuka. Ia masuk
ke Andover Theological Seminary pada bulan Oktober. Ia belum bertobat
pada waktu itu, sehingga ia mendaftar sebagai mahasiswa khusus, bukan
sebagai calon hamba Tuhan. Sebagai seorang mahasiswa di sana ia mulai
membaca Alkitab dalam bahasa asli, yaitu bahasa Ibrani dan Yunani.
Sebelum November keraguannya mulai pergi, dan ia dapat menulis bahwa ia
“mulai menemukan harapan untuk menerima pengaruh Roh Kudus yang
melahirbarukan.” Pada hari kedua di bulan Desember – suatu hari yang ia
tidak pernah lupakan – ia bertobat dan menyerahkan seluruh hidupnya
kepada Allah. Sejak saat itu ia benar-benar menjadi manusia baru. Ia
berbalik dari mimpi-mimpi kesuksesan duniawinya untuk selama-lamanya
dan bertanya kepada dirinya sendiri, “Bagaimana saya dapat menjadi
paling berkenan di hadapan Allah?”
Ini
adalah suatu pertobatan penting yang sangat luar biasa, karena itu
memimpin Adoniram menjadi misionaris ke negeri asing pertama, yaitu ke
Burma. Setibanya di ladang misi, Adoniram Judson menjadi seorang
Baptis, melalui studi kata Yunani “baptizo.” Ia mau pergi ke Burma pada
saat ketika tidak ada misionaris yang pernah datang ke negeri
penyembah berhala itu. Walaupun penderitaan yang begitu pahit,
dipenjarakan dan berbagai tragedi menimpa keluarganya, termasuk
kematian dari istri pertama dan kemudian istri keduanya dan beberapa
anaknya, Adoniram Judson tidak pernah bimbang dalam memenuhi komitmennya
untuk memenangkan jiwa bagi Kristus, dan menerjemahkan seluruh Alkitab
ke dalam bahasa Burma. Betapa kami berdoa agar beberapa anak muda di
gereja kita ini akan mengalami pertobatan sejati, seperti Adoniram
Judson, dan pergi melayani Kristus selama hidupnya. Dr. John R. Rice
(1895-1980) menulis sebuah lagu yang dengan sempurna menggambarkan
pertobatan Adoniram.
Aku hidup menuruti kesenanganku, Aku bekerja keras untuk harta dunia,
Namun dama damai yang melampaui segalanya, hanya ku temukan dalam Yesus….
Kesombongan akan kebaikanku menggagalkanku, Tiada obat untuk dosa yang menyakitiku
Roh Allah kemudian menginsafkanku, Tuk meninggalkan dosa-dosa ku ke atas Yesus.
Firman Allah telah lama ku tolak, Roh-Nya memanggil, memintaku dengan tegas
Bertobatlah, Oleh Yesus, Yesus yang berharga
Semua dosa ku kini diampuni, Rantai dosa telah dipatahkan,
Dan segenap hatiku kuserahkan, Kepada Yesus, hanya Yesus.
Oh Kristus, karena kasih yang tiada henti, Karena berkat yang terus meningkat
Karena semua ketakutanku sirna, Aku memuji dan mengasihi Yesusku.
Semua dosa ku kini diampuni, Rantai dosa telah dipatahkan,
Dan segenap hatiku kuserahkan, Kepada Yesus, hanya Yesus.
(“Jesus, Only Jesus” by Dr. John R. Rice, 1895-1980).
Baca Selengkapnya → Kesaksian Adoniram Judson
Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil
ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 18:3).
Ini akan menjadi khotbah biografi. Saya akan
menyampaikan kisah pertobatan Adoniram Judson (1788-1850) kepada Anda.
Pertobatannya harus menjadi hal yang sangat menarik bagi anak-anak muda
yang tumbuh di gereja. Ia adalah gambaran sempurna tentang “anak-anak
gereja” yang dipertobatkan setelah perjuangan yang lama.
Adoniram
Judson pergi menjadi misionaris pertama, salah satu rombongan pertama
dari para misionaris yang diutus keluar dari Amerika Utara. Pada 19
Pebruari 1812 Adoniram dan Ann Judson berlayar dari Cape Cod,
Massachusetts menuju India. Dari sana mereka membawa Injil ke Burma
(sekarang Myanmar). Keluarga Judson ini melewati penderitaan pahit,
dipenjara, dan keluarganya mengalami banyak tragedi sebagai misionaris
pertama di negeri penyembah berhala di mana belum pernah ada misionaris
datang ke tempat itu sebelumnya. Namun Judson tidak pernah bimbang
akan komitmennya untuk memenangkan para penyembah berhala ini bagi
Kristus, dan menerjemahkan Alkitab untuk pertama kalinya ke dalam
bahasa Burma. Bagaimana Adoniram Judson menjadi seorang Kristen yang
kuat seperti itu? Ketika membaca kisah hidupnya, saya menjadi
diyakinkan bahwa dasar iman Kristennya terletak pada pertobatan sejati
yang ia pernah alami ketika ia masih muda, sebelum ia pergi ke ladang
misi. Dalam khotbah ini saya mendasarkan pada Courtney Anderson yang
berjudul, To the Golden Shore: The Life of Adoniram Judson (Judson Press, 1987 edition).
Namanya
adalah Adoniram Judson, Jr. Ayahnya, Adoniram Judson, Sr. adalah
pendeta Kongregasional kolot. Orang yang paling ditakuti oleh Adoniram
Judson muda adalah ayahnya. Nampaknya kekaguman dan hormat yang
menyebabkan putranya takut kepadanya. Ia hampir tidak mampu bercanda
dan tertawa. Ia seorang yang keras dan tegas seperti Tuhan sendiri.
Pada kenyataannya, dalam pikiran muda Adoniram, Allah dan ayahnya
hampir identik sama.
Adoniram belajar
membaca pada waktu umur tiga tahun. Ini membuat ayahnya merasa bahwa
anak laki-lakinya akan menjadi seorang besar, dan ayahnya mengatakan
itu kepadanya lagi dan lagi. Ayahnya hanyalah seorang pendeta miskin,
namun ia ingin anaknya akan menjadi jauh lebih besar dari pada dirinya –
menjadi seorang pendeta di sebuah gereja besar di New England. Ia
berharap agar putranya akan mencapai kesuksesan dan ketenaran yang ia
tidak pernah bayangkan.
Pada masa
kanak-kanaknya Adoniram membaca segala yang ia dapatkan di tangannya,
dari buku-buku di perpustakaan ayahnya sampai novel-novel dan drama
yang populer pada saat itu. Namun ia sangat aktif dan energik. Sebelum
ia berumur sepuluh tahun ia telah menjadi seorang ahli matematika yang
pandai, dan telah belajar dasar-dasar bahasa Yunani dan Latin. Ayahnya
mengatakan kepadanya, “Kamu adalah anak yang sangat [cerdas], Adoniram,
dan saya mengharapkan kelak kamu menjadi orang besar.” Kata-kata itu
membuat kesan mendalam baginya. “Saya mengharapkan kelak kamu menjadi
orang besar.”
Pada saat itu jemaat yang
digembalakan oleh ayahnya mengalami perpecahan gereja yang sangat
mengerikan. Akhirnya keluarga itu harus pindah ke kota lain di mana
ayahnya menjadi pendeta di sebuah gereja kecil yang lain. Namun
Adoniram memiliki respek yang besar kepada teladan ayahnya: yang tidak
pernah kompromi.
Adoniram merasakan bahwa
takdirnya adalah menjadi seorang ahli pidato, seorang penyair, atau
seorang negarawan seperti John Adams – sesuatu yang dihubungkan dengan
buku-buku dan pembelajaran, sesuatu yang akan membuat dia dipuji dan
tenar, dan membuat namanya dikenal sepanjang masa.
Ia
selalu ingin menjadi orang yang benar-benar saleh. Namun bagaimana ia
dapat menjadi seorang Kristen sejati dan menjadi orang besar pada saat
yang sama? Ketika ia terbaring sakit, ia seperti mendengar suara yang
berkata di dalam pikirannya, “Bukan bagi kita, bukan bagi kita, namun
bagi nama-Nyalah kemuliaan itu.” Itu mungkin saja menjadi seorang
pendeta pedesaan yang tidak dikenal yang ketenarannya berkumandang
sampai kepada kekekalan, bahkan walaupun ia tidak mendengarkan di sini.
Dunia salah tentang para pahlawannya. Dunia salah dalam penilaiannya.
Ketenaran dari seorang pendeta pedesaan yang tidak dikenal sesungguhnya
lebih luar biasa – begitu banyak yang lebih besar sehingga pencapaian
duniawi lainnya menjadi menyusut menjadi hal yang tidak penting. Ini
adalah satu-satunya ketenaran yang menang atas kubur. “Bukan bagi kita,
bukan bagi kita, namun bagi nama-Nyalah kemuliaan itu” terus
berdengung di telinganya. Ia duduk dalam posisi tegak di ranjang
sakitnya, dikejutkan oleh pikiran-pikiran aneh ini.
Bagaimanapun,
ia segera berusaha mengusirnya dari pikirannya. Namun untuk waktu yang
singkat ingatan itu begitu kuat sehingga ia akan mengingatnya sampai
akhir hidupnya.
Sebelum pada usia enam
belas tahun Adoniram telah masuk perguruan tinggi. Meskipun ayah
Adoniram adalah tamatan Yale, namun ia tidak mengirim putranya ke sana,
mungkin karena terlalu jauh dari rumahnya. Walaupun Harvard hanyalah
lima puluh mil jauhnya, ia tidak mengirim putranya ke sana karena
sekolah itu telah menjadi liberal. Sebaliknya Pdt. Judson mengirim
putranya ke Rhode Island College di Providence. Tidak lama setelah
Adoniram masuk, perguruan tinggi itu berubah nama menjadi “Brown
University.” Pdt. Judson tahu bahwa sekolah itu adalah sekolah yang
mengajarkan kebenaran, mengajarkan Alkitab. Pdt. Judson merasa bahwa
Adoniram akan aman di perguruan tinggi ini.
Karena
Adoniram telah mengenal bahasa Latin, Yunani, matematika, astronomi,
logika, pidato dan filsafat moral ia masuk sekolah seperti sebagai
mahasiswa tahun kedua dari pada mahasiswa tahun pertama. Para
profesornya segera menyadari itu. Di akhir kuliah tahun pertama rektor
perguruan tinggi tersebut mengirim surat kepada ayahnya, menyebut
Adoniram “putra yang sangat baik dan menjanjikan.” Hati Pdt. Judson
begitu bangga ketika membaca surat itu.
Para
mahasiswa di perguruan tinggi tersebut segera menyadari bahwa,
walaupun ia adalah seorang anak pendeta, Adoniram telah memiliki
ketertarikan yang sangat kecil dalam menghadiri kebaktian doa yang
diadakan dua kali seminggu. Sebaliknya ia menjadi sangat popular dengan
anak-anak muda yang belum bertobat di sekolah itu.
Adoniram
segera berteman dengan seseorang yang bernama Jacob Eames, yang
berusia satu tahun lebih tua darinya. Eames sangat berbakat, pintar dan
sangat populer – namun ia adalah seorang Deist (orang yang percaya
bahwa dengan pengetahuan, akal dan pikiran, seseorang dapat menentukan
Tuhan itu nyata), bukan seorang Kristen. Ia dan Adoniram menjadi
sahabat dekat, dan Adoniram sangat dipengaruhi oleh dia sehingga ia
segera menjadi seperti orang yang tidak percaya Tuhan seperti Jacob
Eames. Jika ayah Adoniram mengetahui bahwa ia telah menjadi Deist, ia
pasti segera akan membawa dia keluar dari universitas tersebut. Pdt.
Judson menentang liberalism, Uniatarianisme, dan Universalisme, namun
ia merasa bahwa Deisme adalah yang terburuk dari semua itu. Kaum Deist
menolak Alkitab sepenuhnya. Kaum Deist hanya percaya bahwa ada Allah
yang tidak terlibat dengan umat manusia sama sekali. Mereka menolak
Kristus sebagai Anak Allah, tidak percaya tentang Sorga atau Neraka,
atau Darah penebusan Kristus. Namun Pdt. Judson tidak tahu bahwa
sahabat Adoniram, Jacob Eames telah memimpin putranya ke dalam
kesesatan dan ketidakpercayaan seperti itu.
Jacob
Eames adalah pemimpin kelompok anak-anak muda dimana Adoniram
bergabung. Pemuda-pemuda ini belajar bersama, menghadiri peseta
bersama, ngobrol bersama, dan bermain bersama. Orang-orang muda ini
tidak tertarik pada Kekristenan. Mereka berbicara tentang bagaimana
menjadi para penulis tersohor, dramawan, dan para aktor.Mereka mau
menjadi para pengikut Shakespeare dan Godsmiths dari Dunia Baru di
Amerika. Seluruh agama yang ayah Adoniram ajarkan dengan begitu
hati-hati kepada putranya lenyap sepenuhnya. Jacob Eames telah
“membebaskan” Adoniram dari kepercayaan lama ayahnya, dan telah
membebaskan dia untuk mencari ketenaran dan kekayaan.
Namun
Adoniram memiliki perasaan bersalah yang membuat dia gelisah. Menolak
Allah ayahnya adalah sama dengan menolak ayahnya, yang masih ia sangat
hormati di dalam hatinya. Ia sungguih takut akan penolakan ayahnya,
sehingga ia tidak pernah menyampaikan ketidakpercayaannya ketika ia
pulang liburan semester.
Adoniram menjadi
juara satu di kelasnya. Ia dipilih menjadi wakil wisudawan, dan
menyampaikan pidatonya di acara wisudanya. Segera setelah ia tahu bahwa
ia telah memenangkan kehormatan ini ia lari ke kamarnya dan menulis,
“Ayah yang tersayang, saya telah memperolehnya. Putra kesayanganmu,
A.J.” Di akhir wisuda itu, pada posisi yang paling terhormat. Adoniram
memberikan pidatonya, dengan menyampaikan betapa ia sangat bangga
kepada ayah dan ibunya di hadapan para hadirin.
Jadi,
di usia sembilan belas tahun, Adoniram telah memulai pekerjaan
hidupnya. Namun ia tidak memiliki ide untuk menjadi apa! Ia pulang ke
rumahnya dan pergi ke gereja bersama dengan ayah dan ibunya setiap
Minggu. Kedua orangtuanya tidak tahu bahwa ia sekarang telah menjadi
orang tidak percaya. Ia merasa seperti seorang munafik setiap kali ia
bersama ayah dan ibunya dalam doa bersama keluarganya.
Setiap
minggu ia semakin resah. Ia menyimpan pikiran tentang ambisi-ambisi
yang ia telah ia bicarakan dengan Jacob Eames. Pada musim panas itu ia
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pergi ke New York. Ia
akan menjumpai orang-orang yang bekerja dengan theater. Ia akan belajar
menulis drama sebagai langkah awalnya. Ia tahu bahwa ayah dan ibunya
telah berpikir bahwa New York adalah kota yang paling penuh dosa di
Amerika, sebuah Sodom modern. Ia tahu bahwa mereka berpikir theater
adalah lubang neraka dari kebobrokan dan dosa. Namun ia berpikir bahwa
orangtuanya terlalu berpikiran sempit.
Segera
ia mempersiapkan diri untuk pergi ke New York. Kedua orangtuanya
bereaksi seperti seakan ia sedang pamit kepada mereka bahwa ia akan
melakukan perjalanan ke bulan! Mereka tidak menyadari bahwa ia telah
bertujuan untuk bebas dari aturan mereka, bertindak dan berpikir untuk
dirinya sendiri sebagai seorang dewasa. Pada titik ini ayahnya meminta
dia untuk belajar menjadi seorang pendeta. Ketika Adoniram mendengar
itu, ia berusaha mengatakan suatu kebenaran kepada orangtuanya. Bahwa
Allah mereka bukan Allahnya. Bahwa ia tidak percaya lagi Alkitab. Bahwa
ia tidak percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah.
Ayahnya
mencoba untuk berargumentasi dengannya, namun gagal. Ibunya menangis
dan meratap sambil ia mengikuti dia dari kamar ke kamar. “Bagaimana
kamu dapat melakukan ini kepada ibumu?” ia berteriak. Adoniram yang
sangat disayanginya telah memilih Iblis dan menolak Allah. Ia dapat
mendengar tangisan dan doa ibunya untuk dia kapanpun ia pulang ke
rumah.
Adoniram menerima itu tanpa
mengeluh selama enam hari. Kemudian ia mengambil kudanya dan
menungganginya menuju New York. Namun ketika ia sampai di sana ia
menemukan bahwa kota itu bukan sorga seperti yang ia mimpikan. Tidak
ada yang menyambutnya dan tidak ada pekerjaan. Ia hanya tinggal
beberapa minggu sebelum pergi dalam penolakan dan sakit hatinya.
Ketika
matahari mulai tenggelam ia sampai di sebuah desa kecil. Ia menemukan
sebuah penginapan, mengikat kudanya di kandang, dan memesan kamar
kepada pemilik penginapan. Penginapan itu hampir penuh. Hanya ada satu
kamar yang tersisa. Seorang tuan tanah itu menjelaskan kepadanya bahwa
kamar di sebelahnya ada anak muda yang sakit keras, mungkin sedang
sekarat. Ia pasti akan terganggu malam itu. “Tidak,” kata Adoniram, ia
tidak akan membiarkan sedikit keributan di sebelah kamarnya
menghentikan dia untuk menikmati istirahat yang tenang malam itu.
Setelah memberi dia sesuatu untuk dimakan, sang tuan tanah itu membawa
Adoniram ke kamarnya dan meninggalkan dia di sana. Adoniram pergi
tidur, dan berharap bisa tidur.
Namun ia
tidak dapat tidur. Ia dapat mendengar suara pelan yang berasal dari
kamar di depannya, kadang kedengaran dan kadang tidak, seperti ada
suara papan yang berkeretak, suara-suara pelan, namun kadang raungan
dan hembusan nafas. Suara-suara ini tidak terlalu mengganggunya – tidak
mengganggu karena ia berpikir orang itu mungkin sekarat. Kematian
adalah hal yang umum bagi New England-nya Adoniram. Itu memang harus
terjadi kepada setiap orang, berapapun umurnya.
Apa
yang mengganggunya adalah pikiran bahwa orang itu ada di dalam kamar
di samping kamarnya yang tidak siap untuk mati. Apakah ia, dirinya
sendiri, siap untuk itu? Pikiran-pikiran ini melewati pikirannya ketika
ia berbaring setengah mimpi dan setengah sadar di sana. Ia ingin tahu
bagaimana ia sendiri akan menghadapi kematian. Ayahnya akan menganggap
kematian seperti pintu terbuka menuju kemuliaan kekal. Namun bagi
Adoniram, pemuda tidak percaya Tuhan ini, kematian adalah pintu menuju
jurang kehampaan, menuju kegelapan, kebinasaan, lebih buruk lagi – apa?
Tubuhnya akan hancur seperti ketika ia berpikir tentang kubur,
tubuhnya yang mati membusuk, ditimbun di dalam tanah dalam peti mati.
Apakah semua ini, melalui abad-abad tiada akhir?
Namun
bagian lain dari dia mentertawakan pikiran-pikiran tengah malam ini.
Apa yang akan teman-temanya di perguruan tinggi pikirkan tentang
teror-teror malam itu? Di atas semua, apa yang akan sahabat baiknya
Jacob Eames pikirkan? Ia membayangkan Eames mentertawakan dia, dan ia
merasa malu.
Ketika ia bangun matahari
sudah terbit menerobos jendelanya. Ketakutannya telah sirna bersama
dengan kegelapan itu. Ia dapat sulit mempercayai mengapa ia menjadi
begitu lemah dan takut pada malam itu. Ia berpakaian dan turun untuk
sarapan. Ia menemui pemilik penginapan dan membayar tagihannya.
Kemudian ia bertanya apakah anak muda di sebelah kamarnya itu sudah
lebih baik. Orang itu menjawab, “Ia telah meninggal dunia.” Kemudian
Adoniram bertanya, “Apakah Anda tahu siapakah dia itu?” Pemilik
penginapan itu menjawab, “Oh. Iya. Ia adalah anak muda dari Brown
University, namanya adalah Eames, Jacob Eames.” Itu berarti sahabat
baiknya, Jacob Eames yang tidak percaya Tuhan, yang telah mati di
sebelah kamarnya malam itu.
Adoniram
tidak pernah dapat mengingat bagaimana ia melalui beberapa jam
berikutnya. Semua yang ia ingat adalah bahwa ia tidak meninggalkan
penginapan itu untuk beberapa jam. Akhirnya ia pergi, menunggang
kudanya dalam kebingungan. Satu kata terus merasuki pikirannya –
“terhilang!” Dalam kematian, sahabatnya Jacob Eames masih terhilang –
sepenuhnya terhilang. Terhilang dalam kematian. Kehilangan
sahabat-sahabatnya, kehilangan dunia, kehilangan masa depan. Jika
pandangan-pandangan Eames sendiri benar, bukankah kehidupan dan
kematiannya tidak memiliki arti.
Namun
bagaimana jika Eames salah? Bagaimana jika Alkitab secara literal benar
dan pribadi Allah itu nyata? Kemudian Jacob Eames terhilang untuk
selama-lamanya. Dan setelah itu, pada saat itu, Eames tahu bahwa ia
salah. Namun sekarang sudah sangat terlambat bagi Eames bertobat.
Ketika mengetahui kesalahannya, Eames telah terlanjur mengalami siksaan
api neraka yang tak terlukiskan. Semua kesempatan untuk diselamatkan
telah hilang, terhilang untuk selama-lamanya. Pikiran-pikiran ini
mengguncangkan pikiran Adoniram. Adoniram berpikir bahwa sahabat
baiknya mati di sebelah kamarnya tidak mungkin suatu kebetulan belaka.
Adoniram berpikir bahwa Allah ayahnya telah merancang
peristiwa-peristiwa ini melalui ketetapan, itu sama sekali bukanlah
suatu kebetulan.
Tiba-tiba Adoniram
merasa bahwa Allah dari Alkitab adalah Allah yang riil. Ia memutar
kudanya dan menuju rumahnya. Perjalanan menuju rumahnya memerlukan
waktu lima minggu, namun selama lima minggu itu apa yang ia telah mulai
untuk membebaskan diri dari kendali orangtuanya telah berbalik
menguncang jiwanya dengan begitu hebatnya. Selanjutnya hatinya begitu
kacau, dalam ketakutan akan kematian jiwanya. Ia pulang ke rumahnya
sebagai orang berdosa yang telah dibangunkan.
Pada
saat itu dua pendeta datang ke rumah ayahnya. Mereka mengusulkan agar
Adoniram mendaftarkan diri ke seminari yang baru saja dibuka. Ia masuk
ke Andover Theological Seminary pada bulan Oktober. Ia belum bertobat
pada waktu itu, sehingga ia mendaftar sebagai mahasiswa khusus, bukan
sebagai calon hamba Tuhan. Sebagai seorang mahasiswa di sana ia mulai
membaca Alkitab dalam bahasa asli, yaitu bahasa Ibrani dan Yunani.
Sebelum November keraguannya mulai pergi, dan ia dapat menulis bahwa ia
“mulai menemukan harapan untuk menerima pengaruh Roh Kudus yang
melahirbarukan.” Pada hari kedua di bulan Desember – suatu hari yang ia
tidak pernah lupakan – ia bertobat dan menyerahkan seluruh hidupnya
kepada Allah. Sejak saat itu ia benar-benar menjadi manusia baru. Ia
berbalik dari mimpi-mimpi kesuksesan duniawinya untuk selama-lamanya
dan bertanya kepada dirinya sendiri, “Bagaimana saya dapat menjadi
paling berkenan di hadapan Allah?”
Ini
adalah suatu pertobatan penting yang sangat luar biasa, karena itu
memimpin Adoniram menjadi misionaris ke negeri asing pertama, yaitu ke
Burma. Setibanya di ladang misi, Adoniram Judson menjadi seorang
Baptis, melalui studi kata Yunani “baptizo.” Ia mau pergi ke Burma pada
saat ketika tidak ada misionaris yang pernah datang ke negeri
penyembah berhala itu. Walaupun penderitaan yang begitu pahit,
dipenjarakan dan berbagai tragedi menimpa keluarganya, termasuk
kematian dari istri pertama dan kemudian istri keduanya dan beberapa
anaknya, Adoniram Judson tidak pernah bimbang dalam memenuhi komitmennya
untuk memenangkan jiwa bagi Kristus, dan menerjemahkan seluruh Alkitab
ke dalam bahasa Burma. Betapa kami berdoa agar beberapa anak muda di
gereja kita ini akan mengalami pertobatan sejati, seperti Adoniram
Judson, dan pergi melayani Kristus selama hidupnya. Dr. John R. Rice
(1895-1980) menulis sebuah lagu yang dengan sempurna menggambarkan
pertobatan Adoniram.
Aku hidup menuruti kesenanganku, Aku bekerja keras untuk harta dunia,
Namun dama damai yang melampaui segalanya, hanya ku temukan dalam Yesus….
Kesombongan akan kebaikanku menggagalkanku, Tiada obat untuk dosa yang menyakitiku
Roh Allah kemudian menginsafkanku, Tuk meninggalkan dosa-dosa ku ke atas Yesus.
Firman Allah telah lama ku tolak, Roh-Nya memanggil, memintaku dengan tegas
Bertobatlah, Oleh Yesus, Yesus yang berharga
Semua dosa ku kini diampuni, Rantai dosa telah dipatahkan,
Dan segenap hatiku kuserahkan, Kepada Yesus, hanya Yesus.
Oh Kristus, karena kasih yang tiada henti, Karena berkat yang terus meningkat
Karena semua ketakutanku sirna, Aku memuji dan mengasihi Yesusku.
Semua dosa ku kini diampuni, Rantai dosa telah dipatahkan,
Dan segenap hatiku kuserahkan, Kepada Yesus, hanya Yesus.
(“Jesus, Only Jesus” by Dr. John R. Rice, 1895-1980).